Welcome to Ketrin's World

Thank you for joining in Ketrin's Air Plane.
I dedicate this blog to all my students and to all my fans :)

This blog will give you the information that you need in my class, especially about me for sure.

Hope you can enjoy the journey.
Please enjoy yourself :D

Friday 11 May 2012

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS WEB

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga dengan perkembangan ini telah mengubah paradigma masyarakat dalam mencari dan mendapatkan informasi, yang tidak lagi terbatas pada informasi surat kabar, audio visual dan elektronik, tetapi juga sumber-sumber informasi lainnya yang salah satu diantaranya melalui jaringan internet. Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi ini adalah bidang pendidikan, dimana pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses komunikasi dan informasi dari pendidik kepada peserta didik yang berisi informasi-informasi pendidikan, yang memiliki unsur-unsur pendidik sebagai sumber informasi, media sebagai sarana penyajian ide, gagasan dan materi pendidikan serta peserta didik itu sendiri, beberapa bagian unsur ini mendapatkan sentuhan media teknologi informasi, sehingga mencetuskan lahirnya ide tentang e-learning (Utomo, 2001).

Skenario mengajar dan belajar perlu disiapkan secara matang dalam sebuah kurikulum pembelajaran yang memang dirancang berbasis internet. Mengimplementasikan pembelajaran berbasis internet bukan berarti sekedar meletakkan materi ajar pada web. Selain materi ajar, skenario pembelajaran perlu disiapkan dengan matang untuk mengundang keterlibatan peserta didik secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar mereka.

Teknologi baru terutama dalam bidang ICT memiliki peran yang semakin penting dalam pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana "learning with effort" akan dapat digantikan dengan " learning with fun". Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas seperti usia, kemampuan daya tangkap, kemauan berusaha, dan lain-lain. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar. Pada saat ini kita semua memahami bahwa "proses belajar" dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).


Mengkombinasikan antara pertemuan secara tatap muka dengan pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kontribusi dan interaktifitas antar peserta didik. Melalui tatap muka peserta didik dapat mengenal sesama peserta didik dan guru pendampingnya. Keakraban ini sangat menunjang kerja kolaborasi mereka secara virtual. Persiapan matang sebelum mengimplementasikan sebuah pembelajaran berbasis multimedia memegang peran penting demi kelancaran proses pembelajaran. Segala persiapan seperti penjadwalan sampai dengan penentuan teknis komunikasi selama proses pembelajaran merupakan tahapan penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis web.


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat mendorong berbagai lembaga pendidikan memanfaatkan sistem e-learning untuk meningkatkan efektivitas dan fleksibilitas pembelajaran. Meskipun banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran menggunakan sistem e-learning cenderung sama bila dibanding dengan pembelajaran konvensional atau klasikal, tetapi keuntungan yang bisa diperoleh dengan e-learning adalah dalam hal fleksibilitasnya. Melalui e-learning materi pembelajaran dapat diakses kapan saja dan dari mana saja, disamping itu materi yang dapat diperkaya dengan berbagai sumber belajar termasuk multimedia dengan cepat dapat diperbaharui oleh pengajar.
 
Perkembangan e-learning yang relatif masih baru, definisi dan implementasi sistem e-learning sangatlah bervariasi dan belum ada standard yang baku. Berdasarkan pengamatan dari berbagai sistem pembelajaran berbasis web yang ada di Internet, implementasi sistem e-learning bervariasi mulai dari yang (1) sederhana yakni sekedar kumpulan bahan pembelajaran yang ditaruh di web server dengan tambahan forum komunikasi lewat e-mail atau milist secara terpisah sampai dengan yang (2) terpadu yakni berupa portal e-learning yang berisi berbagai obyek pembelajaran yang diperkaya dengan multimedia serta dipadukan dengan sistem informasi akademik, evaluasi, komunikasi, diskusi dan berbagai educational tools lainnya. Implementasi suatu e-learning bisa masuk kedalam salah satu kategori tersebut, yakni bisa terletak diantara keduanya, atau bahkan bisa merupakan gabungan beberapa komponen dari dua sisi tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya pola yang baku dalam implementasi e-learning, keterbatasan sumberdaya manusia baik pengembang maupun staf pengajar dalam e-learning, keterbatasan perangkat keras maupun perangkat lunak, keterbatasan beaya dan waktu pengembangan. Adapun dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya, terutama di negara yang koneksi Internetnya sangat lambat, pemanfaatan sistem e-learning tersebut bisa saja digabung dengan sistem pembelajaran konvesional yang dikenal dengan sistem blended learning atau hybrid learning.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka yang menjadi masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian pembelajaran pembelajaran berbasis web? 
2. Apa pengertian e-learning? 
3. Apa teknologi pendukung pembelajaran berbasis web? 
4. Bagaimana pengembangan pembelajaran berbasis web? 
5. Apa manfaat pembelajaran berbasis web? 
6. Apa kekurangan dan kelebihan pembelajaran berbasis web?


C. Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka pembahasan ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengertian pembelajaran berbasis web. 
2. Mengetahui pengertian e-learning. 
3. Mengetahui teknologi pendukung pembelajaran berbasis web. 
4. Mengetahui implementasi pembelajaran berbasis web. 
5. Mengetahui manfaat pembelajaran berbasis web. 
6. Mengetahui kekurangan dan kelebihan pembelajaran berbasis web.

 
BAB II
 PEMBAHASAN 


A. Pengertian Pembelajaran Berbasis Web 


Pembelajaran berbasis web adalah proses belajar mengajar yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet, sehingga sering disebut juga dengan e-learning. Internet merupakan jaringan yang terdiri atas ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal, yang terhubungkan melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauanya mencakup seluruh dunia. Internet memiliki banyak fasilitas yang dapat digunakan dalam berbagai bidang, termasuk dalam kegiatan pendidikan. Fasilitas tersebut antara lain: e-mail, Telnet, Internet Relay Chat, Newsgroup, Mailing List (Milis), File Transfer Protocol (FTP), atau World Wide Web (www). Dengan demikian pembelajaran berbasis web merupakan salah satu delivery system yang fleksibel untuk dikembangkan, terutama untuk menciptakan kemandirian belajar mahasiswa.

Pembelajaran berbasis web yang populer dengan sebutan web-based training (WBT), web-based instructional (WBI) atau kadang disebut web-based education (WBE) dapat didefinisikan sebagai aplikasi teknologi web dalam dunia pembelajaran untuk sebuah proses pendidikan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa semua pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi internet dan selama proses belajar dirasakan terjadi oleh yang mengikutinya maka kegiatan itu dapat disebut sebagai pembelajaran berbasis web.

Khan (1997) mendefinisikan pengajaran berbasis web (WBI) sebagai program pengajaran berbasis hypermedia yang memanfaatkan atribut dan sumber daya World Wide Web (Web) untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Sedangkan menurut Clark (dalam Hasbullah,2007:14), WBI adalah pengajaran individual yang dikirim melalui jaringan komputer umum atau pribadi dan ditampilkan oleh web browser. Oleh karena itu kemajuan WBI akan terkait dengan kemajuan teknologi web (perangkat keras dan perangkat lunak) maupun pertumbuhan jumlah situs-situs web di dunia yang sangat cepat.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis web adalah aplikasi teknoloogi web dalam dunia pembelajaran untuk sebuah proses pembelajaran yang memanfaatkan atribut dan sumber daya World Wide Web (Web) untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. 


B. Pengertian e-learning
Belum adanya standard yang baku baik dalam hal definisi maupun implementasi e-learning menjadikan banyak orang mempunyai konsep yang bermacam-macam. E-learning merupakan kependekan dari electronic learning (Sohn, 2005). Salah satu definisi umum dari e-learning diberikan oleh Gilbert & Jones (2001), yaitu pengiriman materi pembelajaran melalui suatu media elektronik seperti Internet, intranet/extranet, satellite broadcast, audio/video tape, interactive TV, CD-ROM, dan computer-based training (CBT). Definisi yang hampir sama diusulkan juga oleh the Australian National Training Authority (2003) yakni meliputi aplikasi dan proses yang menggunakan berbagai media elektronik seperti internet, audio/video tape, interactive TV and CD-ROM guna mengirimkan materi pembelajaran secara lebih fleksibel.

The ILRT of Bristol University (2005) mendefinisikan e-learning sebagai penggunaan teknologi elektronik untuk mengirim, mendukung, dan meningkatkan pengajaran, pembelajaran dan penilaian. Di samping itu, istilah e-learning meliputi berbagai aplikasi dan proses seperti computer-based learning, web-based learning, virtual classroom. Sementara itu pembelajaran on-line adalah bagian dari pembelajaran berbasis teknologi yang memanfaatkan sumber daya internet. Lebih khusus lagi Rosenberg (2001) mendefinisikan e-learning sebagai pemanfaatan teknologi internet untuk mendistribusikan materi pembelajaran, sehingga siswa dapat mengakses dari mana saja.

Jaya Kumar C. Koran (2002), mendefinisikan e-learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Ada pula yang menafsirkan e-learning sebagai bentuk pendidikan jarak jauh yang dilakukan melalui media internet. Sedangkan Dong (dalam Kamarga, 2002) mendefinisikan e-learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau e-learning didefinisikan sebagai berikut: e-Learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly referred to as online courses (Soekartawi, 2002).

Rosenberg (2001) menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.

Secara lebih rinci Rosenberg (2001) mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-Learning, yaitu: a. e-Learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning, sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut. 
b. e-Learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa digolongkan sebagai e-learning. 
c. e-Learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradigma tradisional dalam pelatihan. 


Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-Learning adalah pemanfaatan teknologi internet. e-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet. Oleh karena itu e-Learning dapat digunakan dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam pendidikan konvensional fungsi e-Learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-Learning sebagai berikut: 
a. e-Learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line. 
b. e-Learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi. 
c. e-Learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan. 
d. Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa e-learning adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet.

C. Teknologi Pendukung E-learning
Teknologi Pendukung E-learning Dalam prakteknya e-learning memerlukan bantuan teknologi. Karena itu dikenal istilah computer based learning (CBL) yaitu pembelajaran yang sepenuhnya menggunakan komputer, dan computer assisted learning (CAL) yaitu pembelajaran yang menggunakan alat bantu utama komputer. Teknologi pembelajaran terus berkembang. Namun pada prinsipnya teknologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Technology based learning dan Technology based web-learning. Technology based learning ini pada prinsipnya terdiri dari Audio Information Technologies (radio, audio tape, voice mail telephone) dan Video Information Technologies (video tape, video text, video messaging). Sedangkan technology based web-learning pada dasarnya adalah Data Information Technologies (bulletin board, Internet, e-mail, tele-collaboration). Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi yang dituliskan di atas (audio/data, video/data, audio/video). Teknologi ini juga sering di pakai pada pendidikan jarak jauh (distance education), dimasudkan agar komunikasi antara murid dan guru bisa terjadi dengan keunggulan teknologi e-learning ini.

D. Pengembangan e-learning dalam Pembelajaran Web

Pengembangan pembelajaran berbasis e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk pembelajaran berbasis internet, maka pendapat Haughey (dalam H, Nurhikmah) perlu dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu web course, web centric course, dan web enhanced course”.

Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh, missal universitas terbuka dan virtual school. Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar tanpa tatap muka (jarak jauh) dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut.

Model web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet, membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan.

Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi pelajaran secara online saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pembelajaran didesain seolah peserta didik belajar dihadapan pengajar memalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, ada tiga syarat hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu: 
1. Sederhana, sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada, dengan kemudahan pada panel yang disediakan, waktu belajar peserta akan lebih efisien. 
2. Personal, pengajar/dosen dapat berinteraksi dengan baik dengan mahasiswanya, seperti layaknya berkomunikasi di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuanya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapi. 
3. Cepat, layanan yang ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik, sehingga perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola.

Ada beberapa alternatif paradigma pendidikan melalui internet ini yang salah satunya adalah sistem “dot.com educational system”. Paradigma ini dapat mengitegrasikan beberapa sistem seperti berikut. Pertama, paradigma virtual teacher resources, yang dapat mengatasi terbatasnya jumlah guru yang berkualitas, sehingga siswa tidak haus secara intensif memerlukan dukungan guru, karena peranan guru maya (virtual teacher) dan sebagian besar diambil alih oleh sistem belajar tersebut. Kedua, virtual school system, yang dapat membuka peluang menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang tidak memerlukan ruang dan waktu. Keunggulan paradigma ini daya tampung mahasiswa tak terbatas. Mahasiswa dapat melakukan kegiatan belajar kapan saja, dimana saja, dan darimana saja. Ketiga, paradigma cyber educational resources system, atau dot com leraning resources system. Merupakan pedukung kedua paradigma di atas, dalam membantu akses terhadap artikel atau jurnal elektronik yang tersedia secara bebas dan gratis dalam internet.

Secara ringkas e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan kedalam sistem digital melalui internet. Karena itu e-learning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan operasional dan dapat diukur, ada apersepsi atau pre test, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas , contoh-contoh konkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman dan lain-lain.

Perbedaan pembelajaran tradisional dengan e-learning yaitu kelas tradisional, dosen/guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada pelajarnya. Sedangkan di dalam pembelajaran e-learning fokus utamanya adalah mahasiswa/siswa. Mahasiswa/siswa mandiri pada waktu tertentu dan bertanggungjawab untuk pembelajarannya. Suasana pembelajaran e-learning akan memaksa peserta didik memainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Mahasiswa/siswa membuat perancangan dan mencari materi dengan usaha, dan inisiatif sendiri. Tung (2000) mengatakan bahwa setelah kehadiran dosen dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia. E-learning dalam arti luas bisa mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e-learning untuk umum. E-learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya).

E. Manfaat e-learning dalam Pembelajaran
Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan berpengaruhi terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar mengajar didominasi oleh peran guru disebut the era of teacher, sementara siswa hanya mendengar penjelasan guru. Kemudian, proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada saat ini proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (the era of teacher, book and technology).

Beberapa manfaat yang bisa dinikmati dari proses pembelajaran dengan e-learning, diataranya :

1. Fleksibilitas. Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan laptop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses e-learning. 
2. Independent Learning E-learning memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Ia bisa mulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewati saja bagian yang ia anggap sudah ia kuasai. Jika ia mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, ia bisa mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, pembelajar bisa menghubungi instruktur, nara sumber melalui email atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Jika ia tidak sempat mengikuti dialog interaktif, ia bisa membaca hasil diskusi di message board yang tersedia di LMS (di Website pengelola). Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan. 
3. Biaya Banyak biaya yang bisa dihemat dari cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan, makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar (misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player, OHP). 
Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari e-learning, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 
1. One way communication (komunikasi satu arah); dan 2. Two way communication (komunikasi dua arah).

Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui sistem dua arah. Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous). Artinya pada saat instruktur memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan; dan 2. Dilaksanakan melalaui cara tidak langsung (a-synchronous). Misalnya pesan dari instruktur direkam dahulu sebelum digunakan.

Dalam era global seperti sekarang ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka , kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karenya sebaiknya kita tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa siapa yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan untuk maju.


F. Kelebihan Dan Kekurangan e-Learning 


Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di literatur, memberikan petunjuk tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi, 2002), antara lain dapat disebutkan sebagai berikut. 
a. Tersedianya fasilitas e-moderating di mana guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan dengan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. b. Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadual melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari; c. Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer. d. Bila siswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah. e. Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. f. Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif; g. Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya. Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan, antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: a. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar; 
b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial; 
c. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan; 
d. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT; 
e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal; 
f. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer); 
g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan soal-soal internet; dan h. Kurangnya penguasaan bahasa komputer. 
BAB III 
KESIMPULAN DAN SARAN 
A. Kesimpulan 
Semua pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi internet dan selama proses belajar dirasakan terjadi oleh yang mengikutinya maka kegiatan itu dapat disebut sebagai pembelajaran berbasis web. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, ada tiga syarat hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu: 
1. Sederhana, sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada, dengan kemudahan pada panel yang disediakan, waktu belajar peserta akan lebih efisien. 
2. Personal, pengajar/dosen dapat berinteraksi dengan baik dengan mahasiswanya, seperti layaknya berkomunikasi di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuanya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapi. 
3. Cepat, layanan yang ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik, sehingga perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola. Meskipun pembelajaran berbasis web ini dapat menjawab kebutuhan pembelajaran global, tapi harus tetap disadari bahwa pembelajaran berbasis web atau e-learning tidak dapat sepenuhnya menggantikan pembelajaran tradisional. 
B. Saran 
Dalam era global seperti sekarang ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka , kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karenya sebaiknya kita tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa siapa yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan untuk maju. Oleh karena itu, baiklah para pendidik menguasai penggunaan teknologi. 
DAFTAR PUSTAKA 
Cisco. 2001. e-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training. http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning. 
Gilbert, & Jones, M. G. 2001. E-learning is e-normous. Electric Perspectives, 26(3), 66-82. 
H, Nurhikmah. 2008. Model Pembelajaran Berbasis e-learning Suatu Tawaran Pembelajaran Masa Kini Dan Masa Yang Akan Datang. Makalah disajikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-47 Universitas Negeri MakassarTanggal 31 Juli 2008. 
Hasbullah. 2007. Perancangan dan Implementasi Model Pembelajaran E-Learning Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Di JPTE FPTK UPI. Jakarta: UPI. ILRT. 2005. Institute for learning & research technology of Bristol University. Retrieved 7 October 2005, from http://www.ilrt.bris.ac.uk/projects/elearning. 
Kamarga, Hanny. 2002. Belajar Sejarah melalui e-learning; Alternatif Mengakses Sumber Informasi Kesejarahan. Jakarta: Inti Media. 
Khan, B.H. 1997. Web-Based Instruction. Educational Technology Publications. New Jersey: Englewood Cliffs. 
Koran, Jaya Kumar C. Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Malasyia. www.moe.edu.my/smartshool/neweb/Semi-nar/kkerja8.htm, 8 November 2002. McManus, T. 1995. Special considerations for designing Internet based education. Technology and Teacher Education Annual. Purbo, Onno W dan Antonius AH. 2002. Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL: Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem e-Learning. Jakarta: Gramedia. Rosenberg, M. J. 2001. E-learning: Strategies for delivering knowledge in the digital age. New York: McGraw-Hill. 
Sohn, B. 2005. E-learning and primary and secondary education in Korea. KERIS Korea Education & Research Information Service, 2(3), 6-9. 
Soekartawi. 2002. e-Learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002. 
Tung, Khoe Yao. 2000. Pendidikan dan Riset di Internet. Jakarta: Dinastindo. 
Utomo, Junaidi. 2001. Dampak Internet Terhadap Pendidikan : Transformasi atau Evolusi, Seminar Nasional Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Wednesday 8 February 2012

My Opinion About The Position Theory

Secara eksplisit dalam pikiran saya tentang teori Posisi oleh Wayne Seller dan John P. Miller ditinjau dari Dilemma Berlak yang mengatakan: “Students are seen as having shared characteristics. In traditional textbook learning situations, for example, all students are expexted to master the same material”. Dari teori posisi transmisi ini, siswa dipandang memiliki karakteristik yang sama, sehingga semua siswa diharapkan dapat menguasai bahan yang sama.
Hal ini tentu saja tidak dapat terjadi, karena di lapangan masih banyak ditemukan kasus dimana banyaknya jumlah siswa yang tidak dapat lulus atau tidak dapat mencapai standar nilai KKM dalam suatu mata pelajaran.
Tidak dapatnya semua siswa menguasai bahan atau materi pelajaran yang sama, tentu saja dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan masing-masing siswa dan juga adanya perbedaan karakteristik untuk masing-masing siswa.
Adanya perbedaan-perebedaan karakteristik yang dimiliki siswa tentu saja mempengaruhi penguasaan siswa itu sendiri terhadap materi pembelajaran yang sedang berlangsung. Ada beberapa siswa mungkin yang hanya dengan mendengarkan penjelasan guru saja bisa lulus dengan nilai yang sempurna, tetapi ada juga siswa, meskipun dia sudah belajar keras dan mengerjakan latihan-latihan, pada kenyataannya siswa tersebut hanya mendapatkan nilai yang sama dengan KKM atau bahkan ada beberapa yang tidak lulus.
Dari uraian kasus di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Teori Posisi, khususnya Transmisi yang memandang siswa memiliki karakteristik yang sama sehingga diharapkan dapat menguasai bahan yang sama TIDAK DAPAT DITERIMA karena tidak relevan dengan situasi dan kondisi yang ada pada kenyataan dan tidak dapat diterapkan dalam pembelajaran. Karena bagaimanapun, kita sebagai pendidik tidak mungkin dapat memaksakan agar kemampuan dan daya tangkap yang dimiliki oleh siswa yang kurang pintar bisa sama dengan siswa yang pintar. Hal ini tentu saja dapat terjadi karena adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik, dan hal ini merupakan FAKTA yang tidak dapat kita abaikan dalam mendesain pembelajaran. Sementara dalam hal ini, teori posisi transmisi telah mengabaikan (menutup mata) terhadap adanya perbedaan-perbedaan karakteristik siswa.
Setiap siswa adalah merupakan individu yang unik, dengan segala karakteristik unik yang dimiliki masing-masing siswa, dan bukan merupakan individu yang memiliki karakter yang sama.

Monday 17 October 2011

LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Landasan mengandung arti sebagai alas, dasar atau tumpuan (KBBI, 1995:560). Istilah landasan dikenal pula sebagai pondasi. Mengacu pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa landasan adalah alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari suatu hal ; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. Menurut sifat wujudnya, landasan dapat dibedakan menjadi : (1) landasan yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan. Landasan yang bersifat konseptual identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak. (melakukan suatu praktek). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan adalah seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Sebagaimana telah kita pahami, dalam pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Landasan Pendidikan diperlukan agar pendidikan yang sedang berlangsung mempunyai pondasi atau pijakan yang kuat.
Landasan sosiologis merupakan salah satu landasan pendidikan yang sangat penting keberadaannya karena kehidupan sosial merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Sosial mengacu kepada hubungan antarindividu, antarmasyarakat, dan individu dengan masyarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya aspek itu telah sejak manusia dilahirkan. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup peserta didik agar menjadi matang. Disamping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak itu dalam upaya mengembangkan dirinya. Maka segi sosial ini perlu diperhatikan dalam proses pendidikan.
Pada level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Interaksi sosial merupakan kata kunci dalam proses pendidikan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh mutu interaksi itu. Dengan siapa ia berinteraksi, pesan-pesan apa yang disampaikan, bagaimana interaksi itu berlangsung, media dan sarana-prasarana apa yang digunakan, serta bagaimana dampak interaksi itu pada pihak-pihak yang terlibat.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah pengertian sosiologi?
2. Bagaimanakah latar belakang historis sosiologi pendidikan?
3. Bagaimana landasan sosiologi pendidikan?
4. Bagaimana ruang lingkup dan fungsi landasan sosiologi pendidikan?
5. Bagaimana masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional?





C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian sosiologi pendidikan.
2. Untuk mengetahui latar belakang historis sosiologi pendidikan.
3. Untuk mengetahui landasan sosiologi pendidikan.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup landasan sosiologi pendidikan.
5. Untuk mengetahui masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socious dan logos, socious berarti teman dan logos berarti pengetahuan. Pengertian tersebut diperluas menjadi ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia atau masyarakat. Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (Wayan Ardhana, 1986) sebagai berikut : 1) ada pembagian kerja, 2) ada ketergantungan antar anggota, 3) ada kerjasama antar anggota, 4) ada komunikasi antar anggota, 5) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam kelompok lain. Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

B. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, 2007: 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan sosial dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda. Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903) justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level mikro, yaitu mengenai interaksi sosial yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, 2007: 80).
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.




C. Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu : 1) paham individualisme, 2) paham kolektivisme, 3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: 1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, 2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, 3) negara melindungi warga negaranya, dan 4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: 1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain, 2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, 3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, 4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, 2007: 81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat di definisi sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi sosial antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman Natawidjaja, 2007: 82).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok yatu :
1. fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya.
2. fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang.
3. fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.

E. Masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: 1) ada interaksi antara warga-warganya, 2) pola tingkah laku warganya diatur oleh adapt istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, 3) ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni 1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan 2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah 1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, 2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi, 3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, 4) diantara kelompok relatife seringkali mengalami konflik, 5) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, 6) adanya dominasi politiuk oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok sosial yang lain, dan 7) secara relative integrasi sosial sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986).
Pada masa Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh. Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) dan sekitarnya.




BAB III
KESIMPULAN

Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socious dan logos, socious berarti teman dan logos berarti pengetahuan. Pengertian tersebut diperluas menjadi ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia atau masyarakat.
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Sosiologi pendidikan dituntut untuk melakukan tiga fungsi, yaitu: 1) fungsi eksplanasi, 2) fungsi prediksi, 3) fungsi utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan ke-Bhineka Tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.


DAFTAR PUSTAKA


Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Pidarta, Made. 2008. Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukardjo, M. dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Friday 19 August 2011

Landasan Sejarah Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
            Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini, termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budidaya manusia. Demikianlah ada sejarah  candi, sejarah fosil, sejarah batu-batuan,sejarah perkembangan benua dan pulau, sejarah politik, sejarah suatu negara, sejarah ilmu, sejarah pendidikan dan sebagainya.
            Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya. Informas-informasi yang lampau ini terutama yang bersifat kebudayaan pada umumnya berisi konsep, praktik, dan hasil yang diperoleh. Sejarah tentang candi Borobudur misalnya mengandung konsep tentang cara membuat candi itu, tujuan yang ingin dicapai, proses pembuatannya, dan hasil yang bisa dinikmati sampai saat ini.
            Informasi-informasi tersebut di atas merupakan warisan generasi muda dan generasi pendahulunya yang tidak ternilai harganya. Generasi muda banyak belajar dari informasi ini. Belajar dalam arti memanfaatkan informasi ini dalam upaya memajukan diri. Bukan belajar hanya menerima dan bertahan dalam kebudayaan itu, melainkan kebudayaan itu dijadikan landasan dan bahan perbandingan untuk maju.
            Setiap bidang kegiatan yang dikejar oleh manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan juga dengan bagaimana keadaan bidang itu pada masa yang lampau. Apakah bidang itu dahulu sudah baik atau maju, apakah baru dalam fase mulai, ataukah sudah lama dikerjakan tetapi hasilnya belum memuaskan, bagaimana konsep dan praktiknya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas member dasar orang-orang bersangkutan untuk bertindak lebih lanjut dalam bidang itu. Demikian juga dalam bidang pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menangani bidang itu, terlebih dahulu mereka memeriksa sejarah tentang pendidikan, baik yang bersifat nasional maupun yang internasional. Dengan cara ini mereka tahu apa yang sudah dikerjakan oleh bangsanya dan hasil yang diperoleh, mereka juga bisa memeriksa apakah sudah cocok dengan keadaan/tujuan pendidikan sekarang. Sebagai bahan tambahan, mereka juga mencari informasi sejarah pendidikan dunia.
            Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.

I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah diatas, rumusan masalah yang dapat dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah pendidikan dunia?
2.      Bagaimana sejarah pendidikan Indonesia?
3.      Bagaimana implikasi landasan sejarah pendidikan terhadap konsep pendidikan?

I.3. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, rumusan masalah yang dapat dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Mengetahui sejarah pendidikan dunia.
2.      Mengetahui sejarah pendidikan Indonesia.
3.      Mengetahui implikasi sejarah pendidikan terhadap konsep pendidikan.





BAB II
PEMBAHASAN

II. 1. Sejarah Pendidikan Dunia
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang (Pidarta, 2007: 110). Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme,(2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.

1. Zaman Realismo. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis (Pidarta, 2007: 111-14). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan.
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran, Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri, Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan, Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak, Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah, Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam, Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.: 111-14).

2. Zaman Rasionalisme Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-15).

3. Zaman Naturalismo Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme menyatakn bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri.
4. Zaman Developmentalisme, Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen. Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture). Ø Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal.

5. Zaman Nasionalisme Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).

6. Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme. Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).

7. Zaman Sosialisme Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey.
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
II.2. Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125).
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215).Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha (ibid.: 217).

2. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional) Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (ibid.: 223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen) Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Sukardjo, M, 2009: 118). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan. Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Sukardjo, M, 2009: 118).Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602. Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme.

4. Zaman Kolonial Belanda VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (ibid.: 3). Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8). Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.: 10-13). Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17). Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru. Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).

5. Zaman Kolonial Jepang Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.

6. Zaman Kemerdekaan (Awal) Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.

7. Zaman ‘Orde Lama’ Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material. Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara. Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).

8. Zaman ‘Orde Baru’ Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.: 434). Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).

9. Zaman ‘Reformasi’ Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143). Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).





II.3. Implikasi Sejarah Pendidikan Terhadap Konsep Pendidikan
Pembahasan tentang landasan sejarah pendidikan dunia, sejarah pendidikan Indonesia, masa perjuangan, sampai dengan masa reformasi, member implikasi konsep-konsep pendidikan ((Pidarta, 2007: 147). Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
a.          Tujuan Pendidikan Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan, kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu, tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
b.         Proses Pendidikan Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi pelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
c.          Kebudayaan Nasional Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam Pidarta (2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
d.         Inovasi-inovasi Pendidikan Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.



BAB III
KESIMPULAN
Umur sejarah pendidikan dimulai dari zaman Hellenisme tahun 150-500 SM ke zaman pertengahan tahun 500-1500, zaman Hunamisme atau renaissance serta zaman Reformasi dan kontra reformasi tahun 1600 –an. Pendidikan zaman-zaman ini belum banyak memberikan kontribusinya kepada pendidikan zaman sekarang.
Pendidikan mulai menunjukkan eksistensinya sejak zaman realisme. Realisme menghendaki pikiran yang praktis. Saat ini berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan alam.Tokoh realisme zaman ini adalah Francis Bacon (abad ke 17) yang mengembangkan metode induktif. Tokoh Realisme yang lain yaitu johan Amos Comenius, yang terkenal dengan bukunya Janua Linguarum Reserata atau Pintu Terbuka bagi Bahasa  tahun 1631. Didactica Magna atau buku Didaktik Yang Besar tahun 1632, dan Orbis Pictus atau Gambar Dunia tahun 1651.
Sesudah itu berkembang paham Rasionalisme atau disiplinarianisme dengan tokohnya Jhon Locke pada abad ke 18. Aliran ini bertujuan memberikan kekuasaan bagi manusia untuk berpikir sendiri dan bertindak untuk dirinya.
Pada abad ke-19 berkembang zaman Developmentalisme yang memandang pendidikan sebagai proses pengembangan jiwa yang  berlangsung dalam setiap individu. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm frobel di Jerman dan Stanley Hall di Amerika Serikat.
Selanjutnya pada abad ke-19 berkembang zaman Nasionalisme. Paham ini muncul sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa, mempertahankan bangsa dari imperialisme. Tokohnya adalah  Chalotais di Perancis, Fichte di Jerman dan Jefferson di Amerika Serikat. . Pada abad tersebut muncul juga aliran liberalisme dan positisvisme. Tokoh Liberlisme adalah Adam smith dalam bidang ekonomi. Tokoh aliran positivisme dalah August Comte yang hanya percaya kepada kebenaran yang diamati oleh panca indera.
Pada abad ke-20 muncul aliran sosial dalam pendidikan dengan tokoh-tokohnya Paul Natorp dan George Kerschensteiner di Jerman serta John Dewey di Amerika Serikat. Maria Montessori, Ovide Declory dan Hellen Parkhurst dengan pendidikan bebas, dengan semboyan mendidik dalam kebebasan untuk kebebasan.
Pendidikan di Indonesia sudah ada sebelum Negara Indonesia berdiri. Sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia juga cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno, kemudian diteruskan dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh agama Islam, pendidikan pada zaman kemerdekaan. Pada waktu bangsa Indonesia berjuang merintis kemerdekaan ada tiga tokoh pendidikan sekaligus pejuang kemerdekaan, yang berjuang melalui pendidikan. Mereka membina anak-anak dan para pemuda melalui lembaganya masing-masing untuk mengembalikan harga diri dan martabatnya yang hilang akibat penjajahan Belanda.